Rabu, 01 Februari 2017

Cerpen #1 Dejavu

Dejavu 

by: M Sony Dwi Putra

Sungguh. Mungkin aku adalah satu-satunya anak di negara bagian ini yang membenci hujan. Aroma rumput yang diterpa hujan seolah menjadi latar belakang kenanganku yang kini tervisualisasi dalam butir hujan. Aku mengernyitkan dahiku dan merangkul kedua lututku sampai celana panjang yang kupakai menutupi kedua mata kakiku.

“Kau kenapa Jean?”, ujar anak yang sedang duduk bersandar pada mainan kuda kayu disebelahku. Aroma wangi bunga dari badannya yang sangat kusuka tiba-tiba menyadarkan lamunanku tentang hujan ini. “Kau tampak seperti nenek tua daripada seorang anak perempuan” ucapnya kali ini disertai dengan senyuman yang terkesan menjengkelkan tetapi entah kenapa aku sangat menyukainya. Anak itu sekarang menegakkan badannya dan duduk disebelahku dengan memeluk kedua lututnya.

“Kau tahu apa yang paling aku benci Tom?”

“Ya, hujan” ucapnya dengan diiringi desahan nafas yang berat seraya tersenyum kecil, 

“Menghilangkan tempat bermain kita bukan?” lanjutnya.

Hujan yang terus-menerus mengguyur diluar disertai beberapa kali hentakan petir seolah ingin aku berhenti menatap keluar. Di kamar ini hanya ada aku dan Tomi yang dari tadi meringkuk memeluk lutut masing-masing di balik jendela ini.

“Tapi aku senang masih bisa bermain bersamamu Tom” ucapku dengan senyum lebar memamerkan gigiku yang putih pada anak berbaju putih lusuh disebelahku. “Ku kira aku tidak akan bisa melihatmu lagi setelah kau pindah tempat tinggal”.

“Ha-ha kau tenang saja, aku tidak akan berhenti bermain bersamamu” jawabnya riang, “Memangnya kau bisa apa tanpaku?” ucapnya licik. Baiklah, mungkin itu ada benarnya. Aku tidak memiliki lagi teman di sekitar tempat tinggalku untuk kuajak bermain. Gelar anak tunggal yang melekat padaku memaksaku harus menemukan caraku sendiri untuk bermain agar tidak mengganggu orang tuaku dengan urusan mereka masing-masing.

“Ngomong-ngomong apakah mereka tahu kau ada disini?” tanyaku.

“Siapa?”

“Siapa katamu? Tentu saja orang tuamu Tom” Ucapku tegas.

“Entahlah” jawabnya, “Mungkin mereka tahu, mungkin juga tidak, mungkin mereka sudah melupakanku” ucapnya seraya beranjak dari sebelahku menuju tempat tidurku. Boneka porselen yang sedari tadi dipegangnya ia seret hingga gaun yang dikenakan oleh boneka itu terjuntai di lantai.

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dari luar dan seorang perempuan dengan wajah yang masih cantik untuk perempuan seusianya masuk tanpa aba-aba ke kamarku.

“Hei Sayang, kau mau sepotong kue dan segelah susu cokelat” ucapnya dengan senyum lembut.

“Tentu saja ma, aku suka itu” jawabku tegas seraya menyengir kepadanya. “Bawakan untuk Tomi juga ya” jawabku lagi pada ibuku. Perempuan itu tersenyum lembut dan menutup pintu kamarku meninggkalkan kami berdua lagi.

“Ibumu memang selalu tampak cantik dan baik sepertimu Jean” gumamnya sambil melempar-lempar bola baseball yang ada di atas tempat tidurku ke udara

“Bukankah seorang ibu harusnys seperti itu?”  ucapku pada pada Tomi, “Mereka semua pasti baik pada anaknya”. Aku memalingkan wajahku pada Tomi. Kulihat kini wajahnya yang berpipi tirus tampak bereskpresi sangat datar dan dingin.

“Ibuku sekarang sudah tidak terlalu memikirkanku dan orang itu karena kejadian tempo hari” ujarnya, “Padahal itu semua adalah salah orang itu sehingga ibu sangat membencinya”.

Aku turun dari bilik jendela dan menyeret selimut panjang berwarnakan biru yang dari tadi menutupi badanku dari dinginnya hari. Melihat wajah Tomi yang tampak sangat sedih begitu menyayat hatiku. Ibu Tomi memang bukanlah orang yang buruk, tetapi tidak seharusnya ia bersikap demikian terhadap Tomi.

“Apa kau masih mengingat apa yang terjadi tempo hari itu, Tom?”

“TIdak, tidak sama sekali”

Jawaban itu membuatku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Memberi semangat untuknya bagiku malah akan tambah membebani hidupnya. Tomi yang aku kenal bukanlah Tomi yang dulu biasa bermain bersamaku dengan wajah yang selalu riang dan menyenangkan. Tetapi paling tidak Tomi masih mau bermain bersamaku sekarang.

“Hei apa itu bunga Daffodil?” tanyanya sambil menunjukkan jarinya pada seikat bunga yang aku letakkan pada sisi meja di samping tempat tidurku.

“Iya”

“Apa itu untukku”

“Tentu saja”, kulihat senyum diwajahnya melebar dan menampakkan wajah yang tampan.

Tomi memang menyukai bunga Daffodil, ia berkata bahwa bunga itu adalah lambang kebahagiaan dan keceriaan. Sudah dari 3 hari yang lalu aku menyiapkan bunga itu untuk kuberikan pada Tomi sebagai balasan karena dulu ia juga pernah memberiku bunga Tulip yang ia petik di halaman rumahnya. Hari itu adalah hari dimana aku pertama kali bertemu dengan Tomi. Anak dengan rambut kecoklatan dengan mata berwarna biru itu tiba-tiba datang menghampiriku yang sedang bermain sendirian di teras rumah dan memberiku bunga Tulip dengan senyuman merekah di wajahnya. Hujan yang mengguyur di daerah tempat tinggalku tidak dihiraukannya sehingga ia datang dengan leher kaos yang ia angkat dan dijadikan penutup kepalanya sambil memegang seikat bunga Tulip. Melihat keceriannya kala itu seolah memberikan keceriaan padaku juga yang sedang kesepian dan bermain sendirian. Hampir setiap hari aku bermain bersama Tomi, jika dia tidak datang kerumahku, maka aku yang akan datang kerumahnya. Sampai kapanpun tidak akan pernah kulupakan tentang pertemuanku dengan Tomi. Sikapnya yang ceria dan ramah membuatku merasa tidak lagi kesepian sejak hari itu.

“Lihat Jean!” teriak Tomi seketika membuyarkan lamunanku, “Hujannya sudah berhenti diluar sana”.

Aku memalingkan wajahku ke arah jendela dan kulihat hujan yang mengguyur sedari tadi berangsur-angsur reda dan digantikan oleh cahaya matahari yang perlahan namun pasti menampakkan kehangatannya. Kulihat Tomi langsung berlari ke arah jendela dan berdiri tegak disana.

“Baiklah, tunggu ya, Tom” ucapku.

Aku beranjak dari tempat tidurku mengambil jaket di belakang pintu kamar dan langsung kupakai seraya menggenggam bunga Daffodil yang kuambil di atas meja. Saat aku membuka pintu sekilas aku melihat wajah Tomi tersenyum memandangi langit dari jendela kamarku. Akupun turun kebawah dan melewati ruang tengah untuk menuju ke pintu depan rumah. Kulihat ayahku yang sedang membaca koran dengan sepuntung rokok di jemarinya duduk di depan televisi.

“Kau mau kemana dengan bunga itu, sayang?” tanyanya yang sedang melihatku berlari ke arah pintu depan dan membukanya.

“Ke makam Tomi” jawabku singkat.

Aku pun langsung menutup pintu dan pergi.