Dejavu
by: M Sony Dwi Putra
Sungguh. Mungkin aku adalah satu-satunya
anak di negara bagian ini yang membenci hujan. Aroma rumput yang diterpa hujan
seolah menjadi latar belakang kenanganku yang kini tervisualisasi dalam butir
hujan. Aku mengernyitkan dahiku dan merangkul kedua lututku sampai celana
panjang yang kupakai menutupi kedua mata kakiku.
“Kau kenapa Jean?”, ujar anak
yang sedang duduk bersandar pada mainan kuda kayu disebelahku. Aroma wangi
bunga dari badannya yang sangat kusuka tiba-tiba menyadarkan lamunanku tentang hujan
ini. “Kau tampak seperti nenek tua daripada seorang anak perempuan” ucapnya
kali ini disertai dengan senyuman yang terkesan menjengkelkan tetapi entah
kenapa aku sangat menyukainya. Anak itu sekarang menegakkan badannya dan duduk disebelahku
dengan memeluk kedua lututnya.
“Kau tahu apa yang paling aku
benci Tom?”
“Ya, hujan” ucapnya dengan
diiringi desahan nafas yang berat seraya tersenyum kecil,
“Menghilangkan tempat
bermain kita bukan?” lanjutnya.
Hujan yang terus-menerus
mengguyur diluar disertai beberapa kali hentakan petir seolah ingin aku
berhenti menatap keluar. Di kamar ini hanya ada aku dan Tomi yang dari tadi
meringkuk memeluk lutut masing-masing di balik jendela ini.
“Tapi aku senang masih bisa
bermain bersamamu Tom” ucapku dengan senyum lebar memamerkan gigiku yang putih
pada anak berbaju putih lusuh disebelahku. “Ku kira aku tidak akan bisa
melihatmu lagi setelah kau pindah tempat tinggal”.
“Ha-ha kau tenang saja, aku tidak
akan berhenti bermain bersamamu” jawabnya riang, “Memangnya kau bisa apa
tanpaku?” ucapnya licik. Baiklah, mungkin itu ada benarnya. Aku tidak memiliki
lagi teman di sekitar tempat tinggalku untuk kuajak bermain. Gelar anak tunggal
yang melekat padaku memaksaku harus menemukan caraku sendiri untuk bermain agar
tidak mengganggu orang tuaku dengan urusan mereka masing-masing.
“Ngomong-ngomong apakah mereka
tahu kau ada disini?” tanyaku.
“Siapa?”
“Siapa katamu? Tentu saja orang
tuamu Tom” Ucapku tegas.
“Entahlah” jawabnya, “Mungkin
mereka tahu, mungkin juga tidak, mungkin mereka sudah melupakanku” ucapnya
seraya beranjak dari sebelahku menuju tempat tidurku. Boneka porselen yang
sedari tadi dipegangnya ia seret hingga gaun yang dikenakan oleh boneka itu
terjuntai di lantai.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk
dari luar dan seorang perempuan dengan wajah yang masih cantik untuk perempuan
seusianya masuk tanpa aba-aba ke kamarku.
“Hei Sayang, kau mau sepotong kue
dan segelah susu cokelat” ucapnya dengan senyum lembut.
“Tentu saja ma, aku suka itu”
jawabku tegas seraya menyengir kepadanya. “Bawakan untuk Tomi juga ya” jawabku
lagi pada ibuku. Perempuan itu tersenyum lembut dan menutup pintu kamarku
meninggkalkan kami berdua lagi.
“Ibumu memang selalu tampak
cantik dan baik sepertimu Jean” gumamnya sambil melempar-lempar bola baseball yang
ada di atas tempat tidurku ke udara
“Bukankah seorang ibu harusnys
seperti itu?” ucapku pada pada Tomi, “Mereka
semua pasti baik pada anaknya”. Aku memalingkan wajahku pada Tomi. Kulihat kini
wajahnya yang berpipi tirus tampak bereskpresi sangat datar dan dingin.
“Ibuku sekarang sudah tidak
terlalu memikirkanku dan orang itu karena kejadian tempo hari” ujarnya, “Padahal
itu semua adalah salah orang itu sehingga ibu sangat membencinya”.
Aku turun dari bilik jendela dan
menyeret selimut panjang berwarnakan biru yang dari tadi menutupi badanku dari
dinginnya hari. Melihat wajah Tomi yang tampak sangat sedih begitu menyayat
hatiku. Ibu Tomi memang bukanlah orang yang buruk, tetapi tidak seharusnya ia
bersikap demikian terhadap Tomi.
“Apa kau masih mengingat apa yang
terjadi tempo hari itu, Tom?”
“TIdak, tidak sama sekali”
Jawaban itu membuatku tidak dapat
berkata apa-apa lagi. Memberi semangat untuknya bagiku malah akan tambah membebani
hidupnya. Tomi yang aku kenal bukanlah Tomi yang dulu biasa bermain bersamaku
dengan wajah yang selalu riang dan menyenangkan. Tetapi paling tidak Tomi masih
mau bermain bersamaku sekarang.
“Hei apa itu bunga Daffodil?”
tanyanya sambil menunjukkan jarinya pada seikat bunga yang aku letakkan pada
sisi meja di samping tempat tidurku.
“Iya”
“Apa itu untukku”
“Tentu saja”, kulihat senyum
diwajahnya melebar dan menampakkan wajah yang tampan.
Tomi memang menyukai bunga Daffodil,
ia berkata bahwa bunga itu adalah lambang kebahagiaan dan keceriaan. Sudah dari
3 hari yang lalu aku menyiapkan bunga itu untuk kuberikan pada Tomi sebagai
balasan karena dulu ia juga pernah memberiku bunga Tulip yang ia petik di
halaman rumahnya. Hari itu adalah hari dimana aku pertama kali bertemu dengan
Tomi. Anak dengan rambut kecoklatan dengan mata berwarna biru itu tiba-tiba datang
menghampiriku yang sedang bermain sendirian di teras rumah dan memberiku bunga
Tulip dengan senyuman merekah di wajahnya. Hujan yang mengguyur di daerah
tempat tinggalku tidak dihiraukannya sehingga ia datang dengan leher kaos yang
ia angkat dan dijadikan penutup kepalanya sambil memegang seikat bunga Tulip.
Melihat keceriannya kala itu seolah memberikan keceriaan padaku juga yang
sedang kesepian dan bermain sendirian. Hampir setiap hari aku bermain bersama
Tomi, jika dia tidak datang kerumahku, maka aku yang akan datang kerumahnya.
Sampai kapanpun tidak akan pernah kulupakan tentang pertemuanku dengan Tomi. Sikapnya
yang ceria dan ramah membuatku merasa tidak lagi kesepian sejak hari itu.
“Lihat Jean!” teriak Tomi
seketika membuyarkan lamunanku, “Hujannya sudah berhenti diluar sana”.
Aku memalingkan wajahku ke arah
jendela dan kulihat hujan yang mengguyur sedari tadi berangsur-angsur reda dan
digantikan oleh cahaya matahari yang perlahan namun pasti menampakkan
kehangatannya. Kulihat Tomi langsung berlari ke arah jendela dan berdiri tegak
disana.
“Baiklah, tunggu ya, Tom” ucapku.
Aku beranjak dari tempat tidurku
mengambil jaket di belakang pintu kamar dan langsung kupakai seraya menggenggam
bunga Daffodil yang kuambil di atas meja. Saat aku membuka pintu sekilas aku
melihat wajah Tomi tersenyum memandangi langit dari jendela kamarku. Akupun
turun kebawah dan melewati ruang tengah untuk menuju ke pintu depan rumah.
Kulihat ayahku yang sedang membaca koran dengan sepuntung rokok di jemarinya
duduk di depan televisi.
“Kau mau kemana dengan bunga itu,
sayang?” tanyanya yang sedang melihatku berlari ke arah pintu depan dan
membukanya.
“Ke makam Tomi” jawabku singkat.
Aku pun langsung menutup pintu
dan pergi.
1 komentar:
Thank you
Posting Komentar